Der Traum Part 4


Huh, susah sekali meraih jalan sukses itu. Harus siap dijatuhkan lagi, bertarung dengan diri sendiri untuk tidak menyerah. Belajar bangkit lagi. Ada di fase yang ingin membalas perlakuan  mereka tetapi tidak bisa,  karena aku belum sukses.  Sampai kapan harus menebalkan telinga terus?  Betapa mahalnya harga sebuah kesuksesan, ingin mengumpulkan orang-orang terpuruk dan kecewa untuk saling menyemangati.

Sepulang dari Rika, moodku kembali memburuk melihat rumah berantakan. Cucian piring menumpuk, sampah plastik makanan berserakan. Kapan ya bisa santai, pulang kerja rebahan di kamar, buka sosial media dan menulis caption happy seperti teman-teman yang lainnya. Sepertinya hanya aku yang bernasib kurang beruntung atau mereka yang hanya memasang status pencitraan. Entahlah, memikirkannya bikin pikiranku semakin ruwet.

Kuletakkan tas kerjaku dan mulai jadi inem di rumah sendiri. Membersihkan semua kotoran, membuang sampah dan mencuci piring kotor. Ibu masih sibuk dengan jahitannya. Sementara penghuni lainnya, berdiam diri di kamar. Kupasangi headset di telinga, kupilih musik kesukaanku dan melanjutkan pekerjaan rumah. Setelah semua selesai, baru bisa rebahan sebentar menikmati hidup.

[Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan beritahu aku, Ra. Nggak usah malu.]

Pesan singkat dari Rika memercikkan semangatku. Di saat perjuangan meraih mimpi dihimpit halangan bertubi-tubi. Bantuan itu datang tepat pada waktunya, tak ada yang bisa memprediksi. Tuhan tahu yang terbaik bagiku. Diberikan jalan melalui tangan orang lain, bukan dari keluargaku sendiri. 

Hampir saja aku menyerah, ternyata "kunci" itu diberikan di akhir perjuangan. Informasi berharga yang diberikan kakaknya Rika sangat membantu. Hari ini aku sudah membuat akun baru, melakukan verifikasi, mulai berinteraksi dengan kawan baru.

Aplikasi ini memang bisa diandalkan,  menghubungkanku dengan teman-teman lokal hingga mancanegara. Pantas saja, banyak  yang menjelajah ke luar negeri dengan budget minim,  melalui couchsourfing bisa mendapatkan host yang bersedia menampung untuk tempat tinggal dan hidup selama di sana. Travelling dengan biaya ekonomis begitu menggodaku. 

Untuk traveler lokal juga tak kalah menariknya, yang ingin bepergian menikmati keindahan alam Indonesia tinggal membuat jadwal perjalanan kemudian mengumumkan siapa yang bersedia menjadi host untuk mereka. Semua data traveler dan host bisa dibaca melalui informasi yang ada. Semua terasa mudah dengan adanya kecanggihan teknologi. Ah, mengapa aku baru tahu sekarang. Bahkan ada yang umroh backpaker dengan biaya delapan hingga sebelas jutaan saja. Sudahlah, urusan jalan-jalan ditangguhkan dulu, saatnya fokus ke tujuan besar pergi ke Inssbruck. 

Kepercayaan diriku mulai meningkat. Kemampuan berkomunikasi dengan orang baru lebih percaya diri.  Sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Lebih menyukai menyendiri dan menghindari berkumpul dengan teman-teman lainnya.

Perang meraih mimpi dimulai.  Rencana baik sudah kususun rapi, kutuliskan di sebuah catatan khusus. Soal-soal untuk keperluan tes bahasa Jerman sudah kuunduh melalui situs internet dan semuanya gratis. Tinggal memperbanyak latihan setiap hari. Semoga otakku kuat menampung kosakata baru. Untuk memperlancar kemampuan berbicara, kuandalkan YouTube jadi media belajar.  

"Allah, mudahkanlah semua langkahku. Tanpamu, aku bukan siapa-siapa." 

Proses menuju ke Inssbruck masih panjang. Aku harus lulus serangkaian uji tes untuk level A1, A2, B1, B2 hingga C1 agar bisa mendapatkan beasiswa. Semuanya harus mengurus sendiri. Sebenarnya ada cara mudah untuk berangkat ke sana menggunakan agen atau melalui jalur kampus, tetapi aku memilih jalur mandiri. Lewat jalur kampus tidak mungkin, kampus tempat kuliahku hanyalah kampus swasta yang kecil, koneksi kerjasama dengan kampus asing tidak ada. Nyesek, kan.

Berbeda dengan kampus Aylin yang di Sukolilo, Surabaya. Jangan ditanya, itu gudangnya mahasiswa berprestasi dan sering go internasional. Peluang melanjutkan sekolah ke luar negeri dari pihak kampus terbuka lebar. 

Jika berangkat melalui jalur agen, aku yang tak punya dana. Minta dukungan Mbak Sema dan Mbak Fatma yang ada sakit hati. Dibuly habis-habisan, bisa dipatahkan mimpiku.  Terpaksa  berjuang sendiri, mencari informasi. Ubrek-ubrek sosial media, hingga menemukan teman yang mereferensikan Inssbruck sebagai tempat study. Itu pun datang di waktu yang tak terduga. Meskipun agak ribet dengan printilannya karena  harus mengurus sendiri.  Biarlah semua menjadi cerita saat tiba waktunya aku sukses.

"Pergi, jangan di sini!" Dengan seenaknya Aylin berteriak di telingaku. Mengusirku dari kamar. Kuambil file-file penting, kemudian keluar kamar tak mau berdebat panjang. Aku duduk di ruang tamu menenangkan diri. Bisa stress jika semua yang mereka lakukan kumasukkan dalam pikiran.

Terdengar suara benda dilempar, pintu kamar ditutup dengan kencang dan teriakan Aylin menggema tidak karuan. Emosinya memuncak tanpa aku tahu penyebabnya. 

"Dasar penganggu, bisanya bikin kesal saja." Kali ini Mbak Sema datang melabrakku.

"Cepat kembalikan papernya, Aylin. Besok dia harus presentasi." Mbak Fatma tak mau ketinggalan, ikut mencercaku.

Dijawab salah, diam juga salah. Paper seperti apa aku juga tidak tahu. Tinggal di rumah ini, harus menyiapkan hati yang lapang dan sabar tak berbatas.

[Gimana, semuanya lancar?] Sebuah pesan singkat dari Dena, dikirimkan kepadaku. Moodku yang tadi menurun mendadak naik.

[Masih berjuang], jawabku.

[Semangat, aku menunggumu di Inssbruck.] Foto Dena yang berdiri di depan Golden Roof dengan latar salju membuatku bahagia. Makin tak sabar untuk menyusul ke sana. Kukirimkan emoji love. 

[Es, ia gut. Erfolge Zu Feiern, aber nich wichtiger  ist es, die Lektionen  zu  Ehren. Welche uns unsure Misserfolge gelehrt haben.] Dena membalas pesanku.

[Apa ini, tolong terjemahkan, Denaa?] Kemampuan bahasa Jermanku masih payah, aku belum bisa memahaminya.

[Percayalah pada dirimu dan mimpimu, bahkan ketika tidak ada orang lain yang melakukan hal itu.]

[Yeay, aku setuju dengan kata-katamu.] 

Obrolan  singkat via chat dengan Dena selalu memantik semangatku. Berulangkali dikatakan Dena, agar tidak khawatir dengan bahasa Jerman. Yang penting lulus tes dulu. Masalah kelancaran berbahasa masih ada kesempatan satu tahun mempelajarinya, tetap saja aku khawatir.

Dari Dena aku belajar, bagaimana  mendapatkan beasiswa dengan jalan mandiri. Termasuk menentukan tempat kuliah yang sedikit saingannya. Trik lulus ujian bahasa Jerman meskipun belajar dengan otodidak juga diajarkan.

Sebuah foto dikirimkan lagi oleh Dena kepadaku. Kali ini foto mesranya bersama sang suami. Merangkul bayi mungil nan cantik  di pangkuannya. Rambutnya yang blonde dengan pipi menggemaskan, membuatku ingin mencubit pipi bakpaunya.

[Nggak mau punya pasangan bule, Ra?]

[Takut, Dena. Pilih yang lokal saja.] Dena membalas pesanku dengan emoji tertawa.  

Ponselku bergetar lagi, kali ini pesan masuk bukan datang dari Dena tetapi Arif.

[Aku sudah di depan.]

Hah? Aku berjingkat melongok ke jendela. Kulihat Arif datang membawa seikat bunga. Duh, kedatangan Arif tidak tepat. Bisa-bisa aku jadi bahan olokan Aylin dan yang lainnya. Perlahan kubuka pintu rumah dan melesat keluar. 

"Rif, ayo pergi dari sini!" Kutarik tangannya dengan cepat.

"Kita mau ke mana, Ra?" Aku tak menjawab hingga sampai ke tempat yang  aman, barulah aku berbicara.

"Kalau mau ke sini, bilang, Rif." Kutekankan kata-kata itu padanya.

"Aku mau memberimu kejutan." Arif cengar-cengir di depanku, merasa tidak bersalah. Deretan gigi gingsulnya yang tidak rata membuatku ilfill. Diberikannya seikat bunga mawar merah. Kali ini aku tidak menerimanya. Nggak mau Arif salah paham lagi.

"Maaf, Rif. Aku belum bisa."

"Kenapa?" Raut muka Arif berubah jadi sedih, tak tega aku melihatnya. Daripada menyakitinya, ku katakan terus terang perihal keinginanku berangkat ke luar negeri.

"Kita tetap berteman, Rif. Doakan semuanya lancar." Sikap Arif mendadak jadi dingin, ia pulang dengan perasaan kecewa, meninggalkanku sendirian tanpa sepatah katapun. Seikat bunga mawar yang dibawanya dilempar di depan rumahku. Tragis.

"Rif, apa kau marah denganku?" Arif tak bersuara, langsung mengambil motornya dan pergi. Sikap manis yang tadi pagi ditunjukkan kepadaku, menghilang berganti amarah. 

Aku kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Antara kesal dan iba pada Arif. 

"Apa-apaan ini, Lyn?" Semua barang-barangku dikeluarkan dari kamar. Di sampingnya ada Mbak Fatma dan Mbak Sema dengan raut muka kesal.

"Mulai sekarang aku nggak mau selamar denganmu."

Setiap hari harus berdebat tanpa tahu kapan  ujungnya. Capek hati dan pikiran. Mengapa mereka gemar sekali memancing keramaian? Padahal memancing kebahagiaan jauh lebih menyenangkan, kan.

Ditutupnya pintu kamar Aylin, disusul Mbak Sema dan Mbak Fatma yang juga pergi ke kamar masing-masing. Tinggal aku sendirian.

"Bu, Ibu … boleh aku masuk! Aylin mengusirku dari kamarnya." Ketukan pintu dan pintaku tidak dijawab.

Bu, Ibu!" Lama aku berdiri di depan kamarnya, hingga mengetuknya sedikit lebih kencang. Ibu tidak mau keluar hingga hampir satu jam lamanya. Aku menyerah, tidak mau mengganggu Ibu. 

Malam itu, terpaksa aku tidur di sofa ruang tamu. Membawa impian dan harapan bisa melihat senyum ibu kembali.

Comments

Popular posts from this blog

KONSEP LIVABLE CITY BIKIN AWET MUDA DAN ANTI AGING PALING AMPUH

BELAJAR DARI KAMPUNG LALI GADGET, “PERMAINAN TRADISIONAL KEMBALI JADI IDOLA ANAK”

TYROL