Der Traum Part 3


Setangkai mawar merah dan sepucuk surat hadiah dari Arif, kubiarkan tergeletak begitu saja di atas meja, tak ada semangat dan gairah untuk membacanya. Padahal ini hadiah pertama kalinya yang kuterima dari seorang laki-laki. Seharusnya aku bahagia, ada yang menaruh hati kepadaku. Setelah bertahun-tahun lamanya tak ada yang menyatakan perasaan. Berbeda dengan Aylin yang bisa dengan mudahnya memilih salah satu dari laki-laki yang mengidolakannya, tak terkecuali Aidan. Lelaki yang membuat dadaku bergejolak.

“Cie, cie yang pipinya merona, habis dapat hadiah dari seseorang. Selamat ya, akhirnya pecah telur juga. Status jomlonya  berakhir." 

Aku hanya cuek, saat Rika–teman satu kerjaku–antusias menggoda. Kusibukkan diriku mencari informasi berkaitan dengan Inssbruck. Tahun ini harus berhasil pergi ke sana. Tidak ada waktu lagi. Semakin menunda, semakin banyak hinaan yang kuterima. 

Kupandangi kota-kota tua dan bersejarah di Inssbruck yang kusimpan di galeri ponselku. Semuanya begitu indah dan memukau. Deretan pegunungan Alpen yang membentang luas, mengelilingi kota  terlihat menakjubkan. Bangunan dengan arsitektur unik, resor ski yang selalu diburu para wisatawan. Membuat semangatku yang hampir saja down kembali bergairah. Penat yang melanda sedikit terurai. Perjuangan ini tidak mudah bagiku. Ada  banyak air mata yang tumpah dan hati yang nelangsa karena ucapan toxic.

"Hey, kamu ada masalah? Bercandaku keterlaluan?" Rika yang melihatku terdiam, langsung menegurku. Dia takut, aku marah.

"Bukan karena hadiah itu, Rik. Aku memang punya masalah serius," desahku pelan.

"Masalah apa? Berbagilah denganku." Rika yang duduk di depanku, langsung memajukan badannya, mengajakku berbicara dari hati ke hati.  Bukan tidak percaya Rika, aku masih ragu apakah tepat menceritakan masalah yang selama ini kupendam kepadanya. 

"Cerita saja." Rika terus meyakinkan. Aku bingung harus memulai dari mana. Menceritakan masalahku, sama halnya membuka aib keluargaku. Rika 
masih menungguku mengeluarkan kata-kata, menggenggam tanganku untuk menguatkan.  Aku masih mengatur napas, berusaha menyusun kata. Di episode kehidupanku bagian mana, yang pantas kuceritakan. 

"A-aku ingin pergi ke Inssbruck, Rik." 

"Hah, Inssbruck?" Rika tercenggang mendengar ucapanku. Matanya langsung melebar dengan mulut terbuka. Sudah kuduga, dia pasti terkejut. Selama ini Rika hanya mengenalku sebagai gadis pendiam. Nggak pernah ada bahasan tentang luar negeri di antara kami. Hanya  ngobrol seputar makanan ekstrim dan minuman yang lagi viral.

"Mimpiku terlalu tinggi, ya. Kalau mau tertawa, silahkan. Nggak usah ditahan, ntar jadi bisul," ucapku mencairkan suasana.

"Eh, siapa yang ngetawain kamu. Semua orang berhak bermimpi, Aurora. Aku hanya kaget saja, ternyata di balik diammu menyimpan mimpi luar biasa. Aku saja nggak ada kepikiran  menjelajah ke sana.

"Apa itu mustahil bagiku, Rik? Dengan kemampuan akademik yang rendah, apa bisa aku menggapainya?" 

"Ish, kamu itu punya fisik sempurna, harusnya bersyukur. Banyak yang bisa kamu lakukan. Nilai sekolah yang rendah bukan jaminan sukses."

"Aku hampir kehilangan semangat, tak ada yang mendukungku untuk pergi ke sana."

"Jangan kendor, Aurora. Banyak kok, orang sukses bermula dari keterbatasan yang dia punya. Stephen Hawking saja, seorang  fisikawan paling terkenal di dunia yang jelas-jelas didiagnosa menderita penyakit saraf neuron dan membuatnya mengalami lumpuh total, bisa sukses. Apalagi kamu yang punya mimpi ke Inssbruck, pasti bisa, lah." Energi positif darinya mengalir ke dalam diriku. Di saat aku kehilangan kekuatan, ada Rika yang menguatkan.

"Mau bukti lagi?" Rika mengambil ponselnya. Mengetikkan sesuatu di pencarian internet. "Kamu tahu ini siapa?" Aku menggeleng. 

"Ini Zhang Junli seniman asal Taiyua yang menderita rheumatoid arthritis, kondisi autoimun yang menyerang sendi, membuatnya hanya bisa terbaring di tempat tidur. Apa dia menyerah? Tidak, ia menjepit kuas di antara jari-jarinya yang lumpung dan mulai melukis. Pengorbanan luar biasa untuk sebuah kesuksesan. Kamu juga bisa, Aurora."

Lecutan semangat dari Rika, membakar diriku untuk lebih gigih memperjuangkan mimpi.  Sudah lama aku kehilangan rasa percaya diri, bahkan takut bermimpi. Terpuruk dalam kesedihan. Semenjak Aylin jadi jawara di kelas dan memenangkan berbagai even perlombaan. Kehadiranku tak lagi dianggap di keluarga. Ibu dan kedua kakakku hanya melimpahkan kasih sayangnya pada Aylin yang digadang-gadang  sebagai penyelamat keluarga. Prestasinya yang cemerlang  membuat pamor keluargaku naik. 

Begitu bangganya ibu dengan pencapaian Aylin. Senyumnya semringah. Matanya selalu berbinar. Setiap ada berita di koran yang meliput prestasi Aylin,   dengan antusias menunjukkan  potongan koran kepada para tetangga, teman-teman arisan dan pengajiannya, hingga menelpon satu per satu kerabat. Seolah menunjukkan, meskipun keluarga broken home, bisa kok, menghasilkan anak yang berprestasi hingga menjelajah ke mancanegara. Sebagai orang tua tunggal, Ibu berhasil mendidik anak-anaknya.

Hanya aku yang dianggap ibu, tidak memberi peruntungan. Tak punya prestasi yang dibanggakan. Ibu sudah mengeluarkan biaya pendidikan mahal. Sementara aku hanya bisa membalasnya dengan memberi nilai-nilai jelak. 

"Apa kamu tidak bisa mendapatkan nilai baik? Ibu  malu, setiap mengambil rapor, harus mendengar keluh kesah Bu Arum,  tentang prestasimu yang menurun."

Aku sudah berusaha jadi kebanggaan ibu, tetapi selalu gagal. Untuk memahami sesuatu saja,  harus membaca puluhan  kali baru bisa mengerti, berbeda dengan Aylin yang punya daya tangkap luar biasa. Semua materi yang diajarkan guru dengan mudah diserap dengan baik.

Susah payah ibu mengais rezeki sebagai penjahit. Menerima orderan menumpuk hingga larut malam. Di saat yang lainnya terlelap, ibu masih terjaga menyelesaikan jahitan pesanan dari pelanggannya. Suara-suara mesin jahit dan mesin obrasnya selalu terdengar hingga dini hari. Letih di pundaknya tak dirasakan, mata yang mulai rabun tidak menjadi halangan. 

Aku sadar, kelemahanku di bidang akademis. Otakku yang sering kesulitan jika harus menghapal dan mengerjakan soal matematika, tetapi jika menyangkut hal yang berbau seni seperti melukis dan menggambar langsung bergairah. Seharusnya dari dulu aku mengambil kuliah jurusan seni lukis, tetapi ibu selalu mengatakan, "Mau jadi apa kamu? Seni tak menghasilkan banyak uang." Akhirnya kupilih kuliah jurusan ekonomi. Dengan harapan, ibu akan bahagia.  

Untuk membalas pengorbanan ibu. Aku berusaha jadi anak yang bisa diandalkan. Urusan memasak jadi tugas harianku. Membantu mengantar pesanan ke rumah pelanggan. Jika orderan permakan ibu menumpuk, sigap aku membantunya, membuka jahitan baju yang akan dipermak dengan alat pendedel. Memijat pundak dan kaki ibu, jika sakit mulai melanda. Meskipun sikap  dingin ibu kepadaku belum berubah.

Ternyata, bukan itu yang ibu mau. Upaya yang kulakukan sia-sia. Semuanya tidak berarti di matanya. Hanya pencapaian di akademis yang membuat ibu tersenyum. Sebab itu, aku berjuang mati-matian agar bisa pergi ke Inssbruck. Mungkin dengan cara ini, ibu bisa tersenyum lepas memandangku. Membanggakanku sama seperti Aylin, kembaranku. Begitu besar perjuanganku untuk sekadar mendapat perhatian ibu.

"Kamu menangis, Aurora?" Pertahananku melemah. Air mataku tak bisa kutahan, di hadapan Rika kutumpahkan semuanya tanpa bercerita sepatah kata pun. Rika memelukku, berusaha menenangkanku

"Aku takut, Rik. Tak bisa meraih mimpiku."

"Kamu harus yakin dengan mimpimu, tak ada yang tidak mungkin selama mau berusaha. Perjuangan ini akan berat pada awalnya, tetapi setelah kamu berhasil  meraihnya. Lelahmu akan terbayarkan."

Apa yang dikatakan Rika memang benar, nimpi ini harus berlanjut. Sukses itu tidak gratis. Termasuk pilihan mimpiku ke Inssbruk  juga bukan asal-asalan. Setelah  gagal berulangkali melakukan apply ke negara-negara yang kampusnya menggunakan bahasa Inggris. Aku kalah saing dengan yang lainnya.

Seseorang yang kukenal di jejaring dunia Maya, memberitahuku untuk melanjutkan kuliah S2 ke Inssbruck yang saingannya sangat sedikit. Peluang untuk diterima  sangat besar. Di sana juga memberikan fasilitas belajar bahasa Jerman gratis selama satu tahun. Setelah dinyatakan lolos. Baru bisa melanjutkan kuliah selama dua tahun. Tinggal mencari sponsor yang mau mendanai kebutuhan hidupku selama di Inssbruck. 

Ucapan Rika untuk membantuku tak main-main. Sepulang kerja, dia mengajakku ke rumahnya. Bertemu dengan kakak laki-lakinya yang dianggap mengerti permasalahan seputar kuliah di luar negeri.

"Jadi, ini yang mau berangkat ke Inssbruck." Dengan malu-malu aku mengangguk, rupanya Rika sudah menceritakan semuanya kepada kakaknya. Kami berdiskusi banyak hal,  hingga mengenalkanku dengan aplikasi yang bisa menjelajah ke berbagai dunia.

"Kamu bisa download dari ponselmu,  aplikasi couchsourfing. Ada banyak jejaring pertemanan yang bisa kamu manfaatkan di aplikasi ini. Bertemu dengan para traveller, menjadi house tour hingga guide tour untuk kerja part time yang menghasilkan cuan, termasuk menemukan siapa yang akan membiayai kebutuhan hidupmu selama di sana."

Satu per satu jalan mimpiku terbuka, saat keluarga terdekatku tak ada yang mendukung mimpiku, Tuhan memberiku jawaban lewat  pintu lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

KONSEP LIVABLE CITY BIKIN AWET MUDA DAN ANTI AGING PALING AMPUH

BELAJAR DARI KAMPUNG LALI GADGET, “PERMAINAN TRADISIONAL KEMBALI JADI IDOLA ANAK”

TYROL