TETANGGA UNIK

Tinggal di rumah sendiri, bisa berkumpul bersama keluarga. Satu hal yang patut kita syukuri. Apalagi bagi pasangan baru sepertiku. Dua tahun kami mengontrak, banyak pengalaman yang kudapatkan termasuk berkawan dengan tetangga baru.

Aku dan suami sama-sama pekerja, punya rutinitas cukup tinggi. Rumah kontrakan yang kami tempati hanyalah persinggahan untuk melepas lelah di malam hari. Selebihnya waktu yang kami miliki habis untuk pekerjaan. 

Mbak Denok, begitulah aku menyebutnya.
Tetangga depan rumahku. Ia dan keluarga kecilnya tinggal di kontrakan yang hanya berukuran 3x8 meter. Itu pun udah lengkap dengan dapur dan kamar mandi dalam. Suaminya yang bekerja sebagai tukang becak. Sedangkan Mbak Denok bekerja sebagai buruh cuci. Sementara keempat anaknya masih bersekolah. 

Gak bisa membayangkan kontrakan sekecil itu dihuni oleh enam orang. Mereka harus berdesak-desakan untuk bisa tidur secara nyaman. Sempat terlintas di benakku, gimana caranya ya si suami melepas naluri kelelakiannya.

Ah, ngapain harus pusing mikirin birahi suami Mbak Denok, tentunya mereka berdua lebih tahu bagaimana melancarkan aksinya dengan sukses. Toh dengan medan pergulatan yang cukup rumit, biasanya kreatifitas akan muncul dengan sendirinya. Betul kan?

Di sebelah rumah kontrakkan Mbak Denok adalah tempat tinggal ibunya beserta saudaranya. Ukurannya juga sama persis dengan rumah Mbak Denok. Hanya sedikit lebih longgar karena hanya dihuni tiga orang saja. 

Tahu gak apa profesi ibu Mbak Denok?
Ia seorang pengemis jalanan. Bu Marni ini, punya pakaian dinas juga lho. Gak kalah kan sama yang kerja kantoran. Setiap pagi, sebelum berangkat dinas. Bu Marni berganti pakaian khas ala pengemis, baju sobek dengan beberapa tambalan di bajunya. Rambut nya pun juga disisir awut awutan. Aku yang mengintip dari balik jendela agak shock pertama kali melihatnya.

Unik sekali tetanggaku ini. Bu Marni selalu berangkat kerja setiap hari dari pukul tujuh hingga pulang sebelum dhuhur. Ia harus naik angkot terlebih dulu. Karena ia melakukan aksi mengemisnya di wilayah yang agak jauh dengan kontrakannya. Alasannya sederhana, agar tidak dikenali tetangga. 

Bu Marni selalu pulang dengan membawa dompet penuh uang hasil kerjanya untuk membiayai kebutuhan hidupnya.

Ada lagi tetanggaku yang rumahnya paling pojok. Ia bukanlah pendatang. Ia asli warga kali lom lor indah Surabaya. Tiap hari ribut dan rame sama istrinya. Aku yang mendengarnya lama-lama takut akan gaya bertengkarnya yang ekstrim. Tidak hanya adu mulut saja, adu fisik hampir tiap hari terjadi. Ditambah suara gaduh perabot rumah tangganya yang mereka pakai sebagai media penunjang pertengkaran di antara mereka. Kreatif sekali pasangan ini. 

Tak lama setelah pertengakaran ini, tangisan sang istri semakin menjadi. Persis seperti tangisan anak kecil, susah berhenti. Para tetangga silih berganti untuk membantu menenangkannya, namun tak juga tak berhasil. Tangisan itu akan reda setelah ia merasa capek dengan sendirinya.

Belakangan ku ketahui penyebab ia menangis tragis karena suaminya bekerja sebagai bandar narkoba. Dan suaminya masuk ke dalam target operasi polisi. 

Ngeri berdampingan dengan tetangga yang banyak konflik. Tugasku hanyalah tetap berbuat baik kepada mereka. Tak berani ikut campur lebih dalam urusan mereka. Pulang kerja, aku langsung masuk rumah dan mengunci pintu pagar rapat rapat. Rumah kontrakanku terbilang cukup besar diantara rumah kontrakan lainnya. Ukurannya 6x10 meter. Hanya aku dan suami saja yang menempatinya. Untuk mengusir kesepianku, sepulang kerja ku ajak anak anak seusia smp yang tinggal di sana untuk main ke rumah. Mereka sangat senang, bisa ngobrol bareng sama aku. 

***********
Akhirnya lega juga bisa pindah rumah. Tepat setahun kelahiran putra pertamaku, aku dan suami mantap berhijrah ke lingkungan yang baru. Terasa beda perlakuan warga antara pengontrak dengan yang sudah memiliki rumah. Seperti biasa sebagai penghuni rumah baru, kami membagikan nasi kotak ke para tetangga sekalian ajang untuk berkenalan.

Di sana kami juga menemukan tetangga yang unik lho, bedanya gak se "ekxstrim" yang dulu.
Sebut saja mbak Dina. Tetangga ku yang satu ini, termasuk orang berada. Dari bentuk rumahnya yang bagus dan kendaraan pribadi juga ia miliki. Trus uniknya dimana?

Gak tau lagi harus kasih julukan apa untuk tetangga yang satu ini. Hal yang tak wajar kerap ia lakukan. Penah suatu ketika sekitar jam sembilan malam, ia ketuk ketuk pintu rumahku dengan keras. Ia juga memanggil namaku dengan teriakan kencang, persis seperti orang panik yang butuh bantuan ku dengan segera.

"Ada apa mba Dina, tumben malam-malam gini ke rumah?" Kulihat wajahnya kalut, tangannya mententeng panci berukuran kecil.

"Mbak, tolong aku. Elpijiku habis, bolehkan aku memasak air di sini untuk membuatkan kopi suamiku"

Jleb, speachless deh.
Elpiji habis, malam-malam gedor gedor rumah tetangga hanya untuk numpang bikin kopi. Hellow, kamu waras mbak. Kenapa gak beli elpiji aja di warung terdekat. Aku sebagai tetangga harus berbesar hati mengizinkannya untuk masuk ke rumah dan menungguinya menbuat kopi buat suami tercintanya. 

Gak habis pikir juga dengan suaminya. Kok ya sempat sempatnya minta kopi, padahal tau kalau elpiji di rumahnya habis. Gak ada inisiatif untuk bel lagi.

Ternyata hampir para tetangga mengalami hal serupa denganku. Mereka juga mulai tidak nyaman dengan tingkah aneh nya Mbak Dina. Mulai dari meminta gula, garam, kecap dan segala hal hal kecil lainnya termasuk kebutuhan dapur selalu saja merecoki tetangga. 

"Aduh, ni orang mau menerapkan prinsip hidup hemat apa emang pelit ya? Gak ada rasa sungkannya sama sekali"

Pernah juga sore-sore datang ke rumah, hanya untuk meminta bantuan membuatkan peta untuk tugas sekolah anaknya. Padahal, aku punya balita yang masih kecil. Terpaksa ku tolak permintaannya secara halus.
Ada juga tetangga yang akhirnya mau lembur demi membantu membuat kerajinan anaknya Mbak Dina. Tetangga satu ini bikin pusing saja. Tak punya rasa malu, demi kepentingan keluarganya dia berbuat nekad seperti itu. 

"Mbak, Mbak.. ! Teriakan Mbak Dina terdengar sangat kencang. Segera kubuka pintu rumah."
"Iya mbak, ada apa?" tanyaku penasaran. 
"Bisa tolong aku gak, anterin ke salon. Aku mau creambath". Mendengar jawaban Mbak Dina, aku langsung lemas.

Cukup dan terakhir ini saja aku membukakan pintu rumahku untuk mu Mbak. Udah di luar batas kewajaran nih orang. Masak gak tahu ini jam berapa? jam satu siang waktunya orang beristirahat. Balitaku terbangun karena teriakannya. Udah gitu gak penting lagi permohonan bantuannya.

Sabar, sabar...
Tetangga oh tetangga, kau membuat hidupku tersiksa.


Comments

Popular posts from this blog

KONSEP LIVABLE CITY BIKIN AWET MUDA DAN ANTI AGING PALING AMPUH

BELAJAR DARI KAMPUNG LALI GADGET, “PERMAINAN TRADISIONAL KEMBALI JADI IDOLA ANAK”

TYROL