Puspas Bagian 1



"Pokoknya aku nggak mau pindah ke tempat yang baru, Mas. Ini sudah keputusan final dariku."

Winny membuang kertas pemberitahuan mutasi Arya dengan kasar. Lalu merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Seharian ini, dia disibukkan pekerjaan kantor yang lumayan padat, bertemu dengan klien yang menyebalkan. Diperparah dengan kabar buruk dari suaminya yang datang tiba-tiba. Menambah moodnya anjlok. Benar-benar hari yang buruk bagi Winny.

"Tolong mengerti posisiku. Apa kau mau kita berpisah lama? Lima tahun bukan waktu yang sebentar." Arya terus memberondongnya dengan pertanyaan, tak memberi jeda sedikit pun untuk Winny beristirahat dari lelah yang bertumpuk.

"It's my dream, Mas. Karirku sedang menanjak di perusahaan. Baru saja di promosikan menjadi manager." Perempuan berhijab pink itu langsung berdiri, menunjukkan surat dari atasannya.

"Bertahun-tahun aku menunggu jabatan ini. Bersaing dengan puluhan karyawan lainnya. Rela lembur setiap hari memberikan dedikasi yang terbaik di perusahaan. Setelah di depan mata, kau suruh aku resign? No ... kali ini kamu yang harus mengerti aku, Mas." Nada suara Winny meninggi membuat Arya murka.

"Jaga ucapanmu! Kewajiban seorang istri itu patuh kepada suaminya bukan membangkang seperti kamu," sarkas Arya. Winny makin tak terima dengan  perlakuan kasar suaminya. Dia lala mendekat dan menatap mata laki-laki blasteran Turki ini dengan pandangan sinis.

"Stop ... Mas Arya. Jangan bawa dalil agama dalam urusan kita. Ini tentang mimpiku dan harapan orang tuaku ...."

Winny menghembuskan napas panjang. Lalu menatap lekat foto dirinya yang terpajang di ruang utama, memakai toga kebanggaan bersama ibu bapaknya. Ada embun yang menggantung di sudut mata perempuan berparas cantik berdarah Jawa.

Teringat bagaimana jerih payah kedua orang tuanya menyekolahkan hingga meraih gelar sarjana. Harapan besar digantungkan di pundaknya. Bagi anak seorang petani, punya anak berpendidikan tinggi adalah kebanggaan.

Winny tak pernah lupa, saat ayahnya berlari memeluknya selesai prosesi wisuda. Wajah penuh kerut dan tangan kasar yang mengapal itu tersenyum bahagia menyaksikan putrinya menjadi lulusan terbaik di fakultasnya.

"Selamat, Nduk. Bapak bangga padamu." Butiran bening menetes di kulit tua Saimun. Disusul Rohimah yang mendekap erat putri sulungnya.

Berhari-hari Winny jadi topik pembicaraan di desa. Saimun menceritakan dengan bangga putrinya di hadapan keluarga, tetangga, teman dekatnya  yang biasa nongkrong di warung kopi. Euforia kebahagiaan itu menular ke yang lainnya. Derajat keluarga Winny terangkat sejak gelar sarjana berhasil diraih.

Baru tiga bulan lulus kuliah, pinangan datang dari Arya. Perempuan kembang desa itu belum sempat memberikan hasil keringatnya kepada orang tuanya. Dia  menerima pinangan kekasihnya dan menikah dengan mahasiswa terbaik jurusan arsitektur di kampusnya. Perasaan bersalah kembali memenuhi pikiran Winny, hingga hari ini dirinya belum berhasil membahagiakan orang tua.

Pernikahan sakral yang berlangsung secara sederhana direstui kedua keluarga. Sebagai pasangan muda dengan ekonomi yang belum stabil. Mereka berdua sama-sama berjuang dari nol untuk mewujudkan impian memiliki rumah di Surabaya.

"Mas, coba dong usaha rayu Pak Daniel. Siapa tahu berubah pikiran."

"Rayu katamu?" Arya menggelengkan kepala melihat istrinya yang keras hati. "Apa kau lupa Win, sejak pandemi bisnis kontraktor mati total, berbulan-bulan aku mengganggur di rumah. Sekarang, ada peluang kerja dengan penghasilan besar dan fasilitas lengkap mana mungkin kutolak."

"Bagaimana denganku, Mas. Aku juga punya peluang sama. Haruskah kutolak? Di saat karirku menanjak, aku melepaskan begitu saja." Suasana kembali memanas. Winny tak segan melontarkan kalimat menohok pada suaminya.

"Okey, ternyata kamu lebih memilih karir daripada rumah tangga kita. Kalau itu maumu, lebih baik kita pisah. Aku bawa Kalei ikut denganku."

"Oh, jadi kamu mengancamku, Mas. Kali ini aku setuju dengan usulanmu. Kita pisah. Dasar egois!" Winny membanting pintu kamarnya dengan keras, lalu menumpahkan semua air matanya.

Beban kesedihan Winny berlipat-lipat. Selama ini dia sudah memberikan yang terbaik untuk pernikahannya. Tak pernah hitung-hitungan masalah keuangan. Semua gajinya untuk menopang kebutuhan rumah tangga hingga melupakan untuk membahagiakan kedua orang tuanya.

Pekerjaan Arya di perusahaan kontraktor belum bisa mencukupi semuanya. Angsuran KPR yang tinggi setiap bulan, kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan Kayla dan Kalei di sekolah Islam ternama di Surabaya memaksa Winny ikut bekerja keras.

Jika dia ikut pindah ke tempat baru, mimpinya untuk membahagiakan ibu bapaknya kandas. Usia keduanya sudah renta. Kapan lagi anak yang dibanggakan ini  berbakti dan menyenangkan orang tuanya. Bukan hanya sibuk memikirkan keluarganya sendiri.

Pindah ke Kalimantan bukan urusan sederhana. Meski Arya dipercaya menjadi manager utama, menangani perkebunan kelapa sawit dengan iming-iming fasilitas  lengkap dan gaji tinggi. Tetap saja, Winny keberatan harus melepas karirnya yang sudah dibangun lama. Di tempat baru, dia harus mulai lagi dari nol, adaptasi lagi.

Rumah tangga yang biasanya adem ayem, kini terancam hancur. Winny tak bisa membayangkan jika Arya membawa Kalei–putri bungsunya–pindah. Tak pernah dia berpisah sehari pun dengan anaknya.

'Tuhan, tolong aku. Aku ingin berbakti kepada kedua orang tuaku di sisa hidupnya.'

***

Tak ada pembicaraan apapun di meja makan. Baik Arya maupun Winny mereka sepakat bungkam. Perdebatan panas tadi malam berujung pertikaian. Keharmonisan dan kehangatan yang biasanya tercipta di pagi hari tak ada lagi. Kalei dan Kayla yang tahu kedua orang tuanya sedang berkonflik, memilih diam.

"Ma, Pa. Kayla berangkat dulu. Driver antar jemputnya sudah datang."

"Kalei juga, Pa." Kedua kakak beradik yang beda usia empat tahun itu memberi pelukan hangat ke Arya dan Winny. Mereka bergantian mencium punggung tangannya. Dengan senyum yang dipaksakan, Winny berusaha memperlihatkan kepada putrinya dia baik-baik saja.

Suasana kembali hening. Hanya ada mereka berdua di meja makan. Keduanya tak saling bertegur sapa. Sibuk dengan gadget masing-masing. Hingga akhirnya, Winny memberanikan diri membuka suara. Menanyakan apa yang menjadi keresahannya malam itu.

"Mas, Kamu tidak serius, kan. Membawa Kalei pergi bersamamu?" Perempuan berkulit putih yang sudah rapi dengan seragam kerjanya nampak cemas, tak ada sahutan dari Arya.

"Mas, jawab pertanyaanku?" Winny mulai tersulut emosi. Seketika Arya meletakkan gadgetnya.

"Kau kan tahu, mana pernah aku bercanda soal anak," jawab Arya tegas.

"Kumohon, Mas! Urungkan saja kepindahanmu. Akan kuajukan pinjaman ke kantor untuk membuka bisnis kecil-kecilan buatmu." Mendengar jawaban istrinya, Arya makin geram.

"Maksudmu apa, Win? Kau meremehkanku?" Arya sontak berdiri dari duduknya dan melempar begitu saja sendok di tangannya. Amarahnya yang sempat redam, m bergejolak lagi.

"Tenang dulu, Mas. Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Aku hanya berusaha mengambil jalan tengah dari masalah kita. Win-win solution."

"Keterlaluan kamu. Pilihan yang kau tawarkan hanya menguntungkanmu. Bagaimana jika ku balik, kau berhenti kerja. Aku modali buka usaha di Kalimantan. Terserah mau usaha apa. Apa kamu setuju, Ibu Winny?" Arya memicingkan mata ke arah istrinya yang seketika bingung memberi jawaban.

"Kau tak bisa menjawab, kan?" Dasar  egois. Hubungan pernikahan ini sebaiknya diakhiri. Tak ada lagi yang memberatkanku untuk berpisah darimu. Mulai detik ini, ku haramkan tubuhku menyentuh tubuhmu," Sarkas Arya.

Winny menangis mendengar ucapan talak keluar dari mulut suaminya. Pernikahan yang dibangun selama hampir sebelas tahun kandas.

Serangkaian agenda meeting dengan para klien hari ini dibatalkan semuanya. Perempuan itu memilih mengurung diri di kamar. Tak percaya semuanya berakhir begitu cepat.

***

"Kita mau ke mana, Pa?" Gadis kecil itu ketakutan saat tangan mungilnya digandeng Arya dengan paksa. Dua koper besar sudah disiapkan. Keberangkatan malam ini tidak bisa ditunda lagi.

"Lepaskan Kalei, Pa! Jangan pisahkan kami. Mamaaa ...." Kayla berteriak histeris memanggil Winny.

Arya memasukkan koper yang telah dipacking rapi ke dalam mobil. Kedua kakak beradik itu saling menumpahkan tangis.

"Cukup, Kayla. Hentikan tangismu!"

"Tapi, Ma ... Aku tak mau berpisah dengan Kalei." Raungan Kayla semakin menjadi, membuat Winny naik pitam. Diseretnya tubuh anaknya masuk ke dalam rumah dengan kasar.

"Pergilah, Mas! Aku tak akan mencarimu. Hubungan kita ... selesai sampai di sini."

Brakkk.

Suara mobil yang dikemudikan Arya mengiringi tangis pilu Winny. Kayla hanya bisa menatap saudara kandungnya dari balik tirai. Wajah itu yang dilihatnya terakhir kali.

"Mama jahat, ini semua salah Mama." Gadis berusia sebelas tahun itu terus merutuki Winny lalu masuk ke kamarnya.

"Aku kehilanganmu, Kalei." Kayla hanya bisa memeluk boneka besar Teddy Bear kesayangan adiknya. Bahkan di hari perpisahan mereka, tak ada satupun barang yang diberikan Kayla untuk diingat adiknya.

Bersambung


#RumahNeracaAksara

#Novel




Comments

  1. Ooh �� sambil mbaca nih cerita, membayangkan sedihnya kayla dan winnie

    ReplyDelete
  2. Sungguh pilu, dan korban perceraian adalah anak... Semoga kayla dan kalei tumbuh menjadi pribadi yang baik

    ReplyDelete
  3. ngebayangin Kayla dan Kalei pisah jadi sediiiihhh ....

    ReplyDelete
  4. Perpisahan orang tua, bagi anak, memang so so sad :(

    ReplyDelete

Post a Comment

Silahkan berikan saran dan kritik terhadap tulisan ini

Popular posts from this blog

KONSEP LIVABLE CITY BIKIN AWET MUDA DAN ANTI AGING PALING AMPUH

BELAJAR DARI KAMPUNG LALI GADGET, “PERMAINAN TRADISIONAL KEMBALI JADI IDOLA ANAK”

TYROL