Der Traum Part 5


"Bangun, Aurora. Cepat masuk ke kamar!" Teriakan Aylin, membuatku kaget. Kemarahannya yang tadi berapi-api sudah mereda, dia merajukku untuk tidur di kamar bersamanya. Membantuku membawa barang-barang yang berserakan di luar. 

"Duduklah, biar aku saja yang merapikan semuanya," tegas Aylin. Baju dan barang-barangku yang  dilemparnya keluar, dikembalikan lagi tempat semula. Aku hanya diam saja melihat tingkahnya yang aneh. 

"Maafkan aku yang terlalu keras kepadamu. Harusnya aku tidak bersikap jahat. Kita ini, kan saudara kembar. Saat kamu ada kesulitan, aku yang membantu." Tangan Aylin menjabat tanganku dengan erat. Dia menangis sesenggukan dan meminta ampun berulang kali kepadaku. Baru kali ini, aku melihat Aylin menyesali perbuatannya. Sesalah apapun dirinya, tidak mau merendah meminta maaf. Apalagi kepada aku, yang dianggapnya hanya benalu di rumah ini. Aku jadi heran dengan sikapnya yang berubah baik dan perhatian. Semoga ini bukan prank, murni tulus dari hati Aylin.

“Sudahlah, jangan menangis lagi, aku memaafkanmu, Lyn.” Kuucapkan perkataan itu, tulus dari hatiku. Bagaimanapun dia berhak mendapat kesempatan untuk dimaafkan. Meskipun Aylin telah banyak menggoreskan luka  kepadaku.

“Aku menyesal, Ra. Membiarkanmu melewati kesulitan ini sendirian. Bisa-bisanya aku tidak peduli dengan perasaanmu. Saudara macam apa aku ini?” Air mata Aylin tumpah ruah,  menyesal sejadi-jadinya.

“Kita mulai semuanya dari nol, menjalin hubungan baik seperti dulu lagi.” Aku menguatkannya agar tidak terus menangis di hadapanku.

“Kau jadi pergi ke Inssbruck? Apa yang bisa kubantu, Ra?" Aku tercekat mendengar kata-katanya, setelah sekian lama Aylin meremehkan mimpiku. Malam ini, dia menanyakan kepadaku. Kata-katanya sopan, jauh dari kesan kasar.

Ada Perasaan ragu dengan perubahan Aylin yang tiba-tiba, tetapi kutepis. Tidak baik berprasangka buruk kepada orang yang sudah menyesal. Aku  memilih mengenang kebersamaan kami di waktu kecil. Dia yang selalu mati-matian membelaku, saat ada yang menganggu. Dengan berani Aylin menghadapi mereka. Hingga tak ada satu pun yang  mengerjaiku. Menginjak remaja, barulah perubahan sikapnya terjadi. Seiring bertambah banyaknya prestasi yang diraih.

"Doakan aku, Lyn. Semoga apa yang kuimpikan tercapai. Aku juga ingin sepertimu pergi ke luar negeri, merasakan bagaimana naik pesawat terbang dan bertemu orang-orang yang berbeda kewarganegaraan."

"Kamu tenang saja, Ra. aku akan membantumu mewujudkannya. Sekarang tidurlah, besok kita bicarakan perihal minpimu." 

"Benarkah, Lyn?" 

"Iya, aku janji." Mata Aylin berbinar menatapku, kupeluk tubuhnya, tak percaya dengan kejutan yang terjadi. Aylin tertidur lelap, sementara aku masih berjuang meraih mimpi.

Semalaman mataku tak bisa terpejam, terus belajar mengasah kemampuan berbahasa Jerman. Ini bukan perkara mudah. Apalagi jadwal tes ujian semakin dekat mulai dari materi lessen (reading), schreiben (writing), hören (listening), sprechen (speaking). 

Sempat ketar-ketir diriku , latihan soal-soal yang kukerjakan hasilnya di luar ekspektasi. Kesalahanku terlalu banyak, belum yang tes hören. Kacau semua jawabanku. Susunan kata dan peraturan grammarnya sulit, ditambah dengan kosa katanya yang banyak dan memusingkan. Setiap kata benda memiliki “Gender”, Der untuk maskulin, die untuk feminim dan das untuk netral. Ini harus dihafal, rumusnya hampir tidak ada. 

"Oh, tidak! Kepalaku langsung berdenyut, pusing melanda. Aku oleng."

“Ayo, otak, kamu bisa. Jangan pusing dulu.” 

Aku mencoba menyemangati diriku sendiri. Mengumpulkan quote motivasi, Mmmembaca kisah orang-orang sukses yang berawal dari nol.

"Tuh, Ra, rata-rata orang sukses itu gigih berjuang, punya tekad besar. Berani melawan halangan yang merintanginya,  waktu tidur yang dimiliki juga hanya sedikit. Digunakan untuk  belajar dan memperjuangkan mimpinya." Aku bermonolog dengan diriku sendiri.

“Kalau Aylin bisa, kenapa aku enggak.” Kulihat foto kota Inssbruck di galeriku, tulisan mimpi yang kutempel di dinding dan chat bersama Mbak Dena menjadi penyemangat baru. Kantuk yang kurasakan langsung menghilang. “Bismillah, semangat, semangat!" 

Tepat pukul dua pagi, aku terkapar. Melahap soal bahasa Jerman, membuatku keliyengan dan mabuk  .

***
“Ra, bangun. Sudah subuh.” Suara panggilan Aylin, terdengar sayup di telingaku.

“Woy, bangun, Ra! Bangunn.”

“Astaghfirullah.” Gegas kuberlari ke kamar mandi mengambil wudu, menunaikan salat dengan keadaan mata terpejam. Konsentrasiku ambyar.

“Ra, mau bantu aku nggak?” Aylin tiba-tiba mendekatiku.

“Bantu apa, ini masih pagi. Biarkan aku istirahat dulu, Lyn.” Kulipat mukenaku dan bersiap meringkuk di peraduan sekitar tiga puluh menitan.

“Please, bantu aku!” Rona wajah Aylin memelas.

“Apaan sih, cepat ngomong!” 

“Kau gantikan aku, Ra.”

“Maksudmu?” 

“Hari ini aku ada janjian dengan Aidan. Tenang saja, nggak akan ketahuan.” Mendengar nama Aidan disebut, mataku membeliak, kantukku hilang seketika.

“Eh, kenapa kamu jadi semangat?” Aylin curiga menatapku.

“Nggak, nggak papa. Aku takut, Lyn. Aku pernah bertemu dengannya, di parkiran saat mengantar barangmu.”

“Dia melihat wajahmu?”

“Nggak sih, aku memakai baju kebesaran seperti yang kumau.”

“Kalau gitu aman, Ra.” Aylin menjelaskan skenario yang harus kulakukan, termasuk  menyuruhku menghafalkan dialog apa saja yang harus kubicarakan. 

“Maaf, Ra. Aku nggak bia membantumu. Terlalu beresiko. Aku juga harus bekerja pagi ini.”

“Ra, kali ini saja. Aku akan membantu proses keberangkatanmu ke Inssbruck. Dijamin semuanya aman. Percaya aku!” 
Melihatnya memelas, aku tidak tega. Kukirimkan pesan singkat ke Rika memberitahu pagi ini, aku tidak masuk kerja karena ada urusan keluarga. Aylin berjingkat kegirangan, melihatku bersedia membantunya. 

“Nggak usah masak pagi ini, Ra. Kubelikan makanan jadi. Sekarang bersiap-siaplah.” Aylin menggulung rambutnya, senyumnya merekah. Sementara aku, tak bisa tenang memikirkan apa yang akan terjadi jika Aidan mengetahui rencana ini.

“Hai, Ra!” sapa Mbak Sema.

“Pagi, Ra!” Mbak Fatma juga menyapaku.

 Pagi ini semuanya terasa berbeda, kehangatan keluarga mulai kurasakan lagi. Entahlah apakah ini hanya sementara apa selamanya. Mbak Sema dan Mbak Fatma yang sebelumnya jutek, sekarang care. Aku masih tak percaya dengan semua yang terjadi tiba-tiba.

“Eh, sudah. Biar aku saja yang cuci piring.” 

Kali ini, aku merasa ada yang aneh. Mbak Sema, Mbak Fatma dan Aylin mendadak  ramah dan baik kepadaku, tidak ada bentakan, jeritan dan ucapan kasar.

Tiga puluh menit aku menunggu Aidan menjemputku. Baju kesukaan Aylin sudah kupakai termasuk parfum yang biasa dikenakannya. 

“Jangan lupa gunakan maskermu, kalau Aidan bertanya bilang saja sedang flu.” Aku mengangguk pelan dengan degup jantung yang berdetak makin kencang. 

“Aidan datang, keluarlah, Ra! Ingat, apa yang sudah kuajarkan.”
Untuk pertama kalinya aku pergi berdua dengan seorang lelaki asing.  Aidan membukakan pintu mobil untukku. Desiran hati ini semakin kuat, melihat matanya terus menatapku. Aku jadi salah tingkah.

“Ingat, Ra. Dia menganggapmu, Aylin. Hentikan kegilaan perasaanmu.”

“Kamu kenapa, Lyn? Dari tadi diam saja. Ada masalah?” Aku menggelang, tak berani bicara hanya isyarat tubuh berupa anggukan, gelengan saja. 

“Tunggu sebentar ya, Lyn!” Aku mengangguk. Aidan menghentikan laju mobilnya dan mendadak. Aku menunggu sendirian, mengatur napas dari semua ketegangan. Ini lebih menegangkan dibandingkan belajar bahasa Jerman.

“Ini untukmu!” Bunga mawar putih kesukaan Aylin diberikannya padaku.

“Terima kasih!” jawabku datar.

Di perjalanan, Aidan lebih banyak bercerita tentang pekerjaannya sebagai arsitek di perusahaan kontraktor. Proyek-proyek yang berhasil dikerjakannya dan bagaimana prestasi yang diraihnya. 

“Gedung bertingkat itu, aku yang mendesainnya, Lyn.” Aku hanya mengangguk dan tersenyum mendengarkan semua cerita-ceritanya. Menambah kekagumanku padanya. Aidan lelaki cerdas dengan masa depan cerah, pantas bersanding dengan Aylin yang juga berprestasi. Berbeda denganku.

Setelah tiba di tempat tujuan, aku masih saja grogi berada di sampingnya. Sebentar lagi, tugasku selesai. Aidan sangat baik, saat tiba di sana, hidangan lezat sudah tersedia. Kami melanjutkan obrolan ringan. Hingga tiba-tiba kulihat Aylin berjalan ke arahku. Aku terkesiap dengan kedatangannya. Ini tidak ada dalam skenarionya. Yang dibicarakan tadi pagi, aku hanya menyerahkan paper untuk keperluan proyek baru Aidan kemudian langsung pergi.

“Jadi gini perlakuanmu terhadapku, setelah kamu hilangkan paperku. Sekarang, mau merebut Aidan dariku?” Minuman berisi jus segar  yang ada di meja, langsung disiramkan ke mukaku dengan sadis. Membuat beberapa pengunjung resto menatapku. 

“Tunggu, bukankah ini—”

“Ini apa? Akui saja. Sudah salah masih ngeles.” Aylin terus berkomentar, tidak peduli perasaanku.

“Sebentar, ini siapa, Lyn?” Aidan bingung dengan kehadiran Aylin.

“Dia Aurora, kembaranku. Sudah lama menyukaimu. Diam-diam dia ambil paperku dan berpura-pura menjadi diriku. Dasar kejam!" Aylin memukuli tubuhku, dibukanya masker yang menutupi wajahku.

"Sudah, Lyn. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Jadi, kamu ini kembar?" 

Pagi ini, Aylin mempermalukanku di hadapan banyak orang dan menuduhku yang merencanakan semuanya. Aku tertipu lagi, selalu begitu dan seterusnya. Tekadku untuk pergi semakin besar, tak ada yang bisa kuharapkan dengan menetap di sini. 

"Overall, gilaaa, aku benci Aylin banget!"


Comments

Popular posts from this blog

KONSEP LIVABLE CITY BIKIN AWET MUDA DAN ANTI AGING PALING AMPUH

BELAJAR DARI KAMPUNG LALI GADGET, “PERMAINAN TRADISIONAL KEMBALI JADI IDOLA ANAK”

TYROL