KUN
PROLOG
"Masih berapa lama lagi kita
berjalan, Kun? tulang kakiku mulai menebal. Persendian di tubuhku tak mau lagi
diajak kompromi. Sepertinya kita harus berhenti sejenak dari perjalanan
ini." gadis muda itu berusaha merajuk dengan mimik wajah memelas, agar
sahabatnya mempertimbangkan usulannya.
Tak hanya lecet-lecet di
kaki, perutnya juga terasa keroncongan. Menelan saliva sebanyak apapun, takkan
bisa mengurangi lapar. Tusukan-tusukan di perut, semakin lama makin kencang,
membuatnya meringis kesakitan. Perjalanan yang cukup jauh untuk sebuah jalan tak berujung.
"Sabarlah dulu.
Tahanlah, Fatma! Sebentar lagi kita akan sampai. Jangan sampai kau leka. Tak
ada orang di sini yang menolongmu." wajah gadis muda itu makin merenggut
mendengar penyataaan Kun, sahabatnya. Ia berusaha melangkahkan kakinya
mengikuti ke mana sahabatnya melaju, meskipun dengan langkah setengah
sempoyongan karena tak kuat menahan lapar.
"Oke, kita sudah
sampai." Kun melirik ke arah sahabatnya yang bermandikan peluh keringat.
Tangannya terus memegang perut yang sudah lama mengeluarkan bunyi pertanda
harus segera diisi. Cuaca siang ini sangat terik, bagi Kun yang terbiasa hidup
berteman dengan alam semua ini sudah biasa. Berbeda dengan Fatma yang baru
tinggal lima tahun di Dusun Air Kuro. Wajarlah, jika ia hampir pingsan. Apalagi
ini pengalamannya yang pertama.
"Jadi kau mengajakku
jauh-jauh ke sini, hanya untuk melihat ini?" gadis muda itu mengelengkan
kepalanya, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Rasa gemas berbalut
kesal campur aduk jadi satu.
"Apa menariknya Kun,
tempat ini? Hanya perkebunan kelapa sawit biasa, hingga kau rela mengajakku
berjalan sampai sejauh ini?" Ia memukul bahu sahabatnya. Sementara Kun
asyik duduk di sempadan, menikmati kenangan-kenangan yang pernah terangkai.
Tentang masa kecilnya, hingga kisah tentang kedua orang tua yang paling
dirindukan.
"Kau tak pernah
tahu, Fatma. Dulu ini adalah tempat yang sangat
indah. Sebelum perkebunan kelapa sawit ini ada. Aku menghabiskan waktuku
berlarian mengitari parit. Sembari menunggu ayah dan ibu bekerja. Bermain
bebas, membawa kain yang kuikatkan di batang pohon kecil. Kain itu
melayang-layang ditiup angin. Aku sangat menyukainya. Surga terindah bagiku."
"SURGA ... tempat
sepanas ini? Payah sekali pikiranmu Kun." Fatma terus mencercanya dengan
gambaran surga yang dipikirannya. Sementara Kun hanya tersenyum.
"Kun, lihat di sana
ada gubuk tua. Kita beristirahat sebentar di tempat itu. Sembari menikmati
bekal makanan yang kita bawa. Di sana sangat teduh. Sepertinya tempat yang
nyaman untuk peristirahatan sementara. Fatma berlari ke arah gubug itu, ia
ingin segera melahap bekal yang dibawa. Tanpa menunggu sahabatnya, ia terus
berlari.
"Jangan Fatma, ayo
kembali. Berbahaya. Lihat, ada laki-laki yang keluar dari dalam gubug. Ia
melihatmu dan sekarang ia berjalan menuju ke sini.”
"Cepat sembunyi
Fatma." Kami berdua berhamburan berlari, bersembunyi di balik semak-semak.
"Tuhan, jangan
izinkan laki-laki itu menemukan kami." Lamat-lamat kuperhatikan wajahnya.
Laki-laki berparas tampan dan tinggi itu, semakin dekat dengan tempat
persembunyianku.
"Sial, ia mengambil
bekal makananku." seketika tubuh Fatma melemas.
********
Merebahkan diri di
peraduan beralaskan tembikar dan kasur lapuk menjadi sesuatu sangat istimewa
bagi gadis yang beranjak remaja. Hari ini tak seperti biasanya, ia pulang
dengan cepat. Hasil dari pahatan getah kayunya tidak banyak. Kondisinya sedang
tidak fit, membuat tubuhnya harus menghentikan serangkaian aktivitas.
Beberapa hari ini demam
menyerang. Ia terpaksa bekerja setengah hari. Hanya meminum air dari teko yang
terbuat dari tanah liat. Sedikit membuat
tubuhnya tampak segar.
Diusapnya kotak kecil
usang itu, sudah lama kotak itu bersemayam di bawah tumpukan baju. Masih
disimpannya dengan baik. Kenang-kenangan terakhir dari wanita sangat
dicintainya. Sebuah pemberian yang tak mungkin ia lupakan.
Tak ada yang spesial di
dalamnya, hanya secarik kertas yang ia sendiri tak tahu apa isinya. Ia pun
terbuai dalam kenangan manis, menghantarkannya masuk ke dalam kepingan mimpi.
Makin jauh, ingatan itu semakin kuat. Baru saja ia merasakan di puncak
kebahagiaan, tiba-tiba ada yang sengaja datang memutusnya.
"Kun ... kun ...
cepatlah kau bergegas!"
"Bangun Kun ...
mimpimu akan segera terwujud." gadis itu terus menggoyang-goyangkan tubuh
Kun, semakin lama semakin kuat. Hingga Kun terbangun dari mimpi indahnya.
Sayup-sayup ia buka matanya dengan perlahan.
"Fatma?" gadis
itu kaget melihat wajah sahabatnya.
"Ayo Kun, kau harus
tahu. Apa yang terjadi." Ia mencubit pipi Kun dengan lembut.
"Ada apa Fatma?" Ia berdiri,
membasuh wajahnya dengan air untuk mengumpulkan kesadaran. Setelah dirasa
membaik, ia datangi sahabatnya.
"Sekarang kau boleh
cerita, aku siap mendengarnya."
Fatma menarik nafas
panjang, sebelum memulai bercerita.
"Di rumah Pak
Rosihan, ada pemuda dari kota Kun. Ia mau memajukan desa kita. Termasuk
memberikan pendidikan gratis membaca dan menulis." Mata Fatma berbinar
saat menceritakan berita baik itu kepada sahabatnya. Ia tahu, sudah lama Kun
memimpikannya.
"Kau tidak bohong
kan Fatma? Mana mungkin di desa kita yang terpencil ini ada yang mau datang
untuk menjadi pengajar. Apalagi dengan medan perjalanan yang sangat sulit,
mustahil ada orang yang mau mengorbankan dirinya. Aku tak percaya ada orang
sebaik itu." Kun membalikkan tubuhnya.
"Ayo, ikut aku. Akan
kutunjukkan jika ceritaku ini nyata. Kau akan melihat pemuda itu." tanpa
pikir panjang, digamitnya tangan Kun. Ia ta bisa berontak karena gengaman Fatma
jauh lebih kuat. Mereka berdua pergi ke rumah Pak Rosihan.
Sesampai di sana, tak ada
sosok pemuda yang diceritakan Fatma. Dicarinya pemuda itu, tapi tak kunjung
bertemu, hingga tibalah mereka di pondok yang sudah lama tak dihuni. Suara
laki-laki itu terdengar jelas, perlahan-lahan mereka mengendap-endap, mengintip
siapa gerangan pahlawan yang baik itu.
Dari balik pondok yang
terbuat dari anyaman bambu, Kun melihat laki-laki itu sedang menyapa anak-anak
dan berbincang hangat. Hingga anak-anak tertawa gembira. Kemudian mengenalkan
sedikit tentang huruf.
Kun terkesima dengan
laki-laki itu, colekan Fatma tak digubrisnya. Ia malah menoleh ke Fatma dan
memperingatkannya jangan menganggunya lagi.
Kun kembali asyik
mengamati laki-laki itu, tetapi aneh lelaki itu tidak ada. Kemana dia pergi? Ia
lihat lagi dari lubang yang sama untuk memastikan. Ternyata beneran, tidak ada.
Di mana dia, apakah ia hantu?
"Iya aku hantu yang
akan menakuti orang-orang yang sengaja mengintipku." suara lelaki itu,
mengagetkan Kun. Sosok yang ia lihat dari balik lubang kecil, sekarang sudah
ada di hadapannya. Ia jadi salah tingkah dan merasa malu. Karena telah mencuri
dengar percakapan percakapan laki-laki itu dengan sengaja.
"Apakah ini caramu
menyambut tamu yang datang dari luar desamu, Nona?" Kun tertunduk.
Bibirnya membisu. Tak seperti biasanya yang lantang berbicara.
"Kamu mau belajar
juga? Siapa namamu, Nona? Laki-laki itu menatapnya dengan tajam. Antara malu
dan takut. Akhirnya Kun, memberanikan diri berbicara.
"Namaku Kun. Maukah
Tuan, mengajariku membaca dan menulis?" bibir Kun gemetar. Ia menyerahkan
kotak usang yang sudah lama ia simpan kepada laki-laki muda itu.
"Aku ingin bisa
membaca apa yang tertulis di kertas itu. Tolong Tuan, bantulah aku!" Kun
membungkukkan tubuhnya. Sementara, laki-laki itu semakin bingung dengan apa
yang terjadi. Dibukanya surat yang ada di kotak itu, ada tulisan dengan tinta
yang mulai memudar. Mungkin karena begitu lamanya surat ini dibuat. Untunglah,
masih bisa terbaca.
Dibacanya secarik kertas
itu, seketika wajahnya menegang. Ini bukan surat biasa. Ia tak sanggup
menceritakannya. Biarlah gadis muda itu sendiri yang membacanya. Sesuatu yang
sangat penting dan berarti bagi hidupnya. Ia tak bisa membayangkan, jika kelak
gadis itu mengetahui isi dari surat itu.
Kun, semakin cemas. Ia
khawatir laki-laki itu menolak permintaannya. Terlihat jelas dari ekspresi di
wajahnya. Berulangkali tangannya meremas
pinggiran baju di bagian bawah. Ketakutannya semakin besar. Lama ia
menunggu laki-laki itu berbicara.
"Aku berjanji, kau
akan bisa lancar membaca dalam waktu satu bulan. Datanglah setiap sore ke sini,
Kun. Aku akan ada untuk membantumu." Wajah Kun tampak bahagia, impiannya
untuk bisa membaca segera terwujud. Kun mengucapkan terima kasih, kemudian
berlari pulang bersama Fatma.
Sementara laki-laki muda
itu, tampak gelisah. Tangannya gemetar, dadanya bergemuruh. Tulisan tangan yang
dilihatnya, mengingatkannya akan seseorang yang sangat dikenalnya. Ia begitu
dekat dan mustahil melakukan perbuatan durja.
"Apakah benar
seseorang kukenal adalah orang yang sama dengan yang dimaksud dengan tulisan
itu?"
"Lalu
siapa Tuan Karim yang dimaksud di kertas itu?"
Comments
Post a Comment
Silahkan berikan saran dan kritik terhadap tulisan ini