RUANG KERAMAT

Setengah jam lagi, semuanya dimulai. Nafasku naik turun mengikuti irama  jantung yang berdetak semakin kencang.

"Semoga bukan Bu Ari, ya Allah. Please...!"
Doaku dalam hati.

Guru killer itu bikin aku senewen, tak ada yang benar di matanya. Pekerjaan harus rapi, sempurna.  Itu yang jadi ukuran. Sekedar membela diri saja aku tak sanggup. Tak ada protes, hanya menurut. .

Dua jam setengah harus menyelesaikan empat resep. Rasanya mustahil, meskipun sudah kurancang jauh-jauh hari. Selalu ada  penghambat nya, mulai dari pertanyaan pemerian obat hingga sifat bahan yang nyeleneh.

Membuatku harus sabar menemukan jawaban dengan membuka buku setebal farmakologi. Teramat sulit, bagiku. 

"ULANGI...!"

Itu kata yang paling kubenci selama di ruangan ini. Sia-sia perjuanganku. Aku harus mengulang dari awal, mengerjakan resep baru. Kalau sudah gitu,  jadi down. Lemes. Mengumpat dan menyalahkan Bu Arie yang terlalu garang. Mungkinkah karena ia belum menikah di usianya kini, hingga gampang meluapkan emosinya kepadaku. Entahlah.

Ruang ini jadi tempat keramat bagiku. Ruangan tanpa sekat, cukup luas. Ada meja resep lengkap dengan timbangan neraca, mortir dan stamfernya. Botol-botol obat diletakkan rapi di pinggir ruangan. 

Ada cawan dan pemanasnya. Ruangan ber AC yang tak pernah bisa dirasakan hawa dinginnya. Karena sudah terkontaminasi dengan panasnya emosiku dan dirinya. Saling berebut bahan obat. 

Tak ada kawan di ruang ini, tak ada obrolan. Aku membisu, badanku penuh keringat. Berdiri selama 2,5 jam tanpa duduk sudah biasa. Bunyi bel pertanda waktu selesai, menjadi surga yang menyejukkan. Akhirnya aku bebas, bisa melepas  penat.

Ah, Mungkin dulu aku membenci nya, sekarang ini menjadi kenangan yang paling kurindukan. Meskipun Bu Ari telah tiada. 

Comments

Popular posts from this blog

KONSEP LIVABLE CITY BIKIN AWET MUDA DAN ANTI AGING PALING AMPUH

BELAJAR DARI KAMPUNG LALI GADGET, “PERMAINAN TRADISIONAL KEMBALI JADI IDOLA ANAK”

TYROL