SEHANGAT PELUKAN IBU
Segaris wajah bertabur senyum, terpampang jelas di layar ponselku. Senyum itu masih sama, seperti yang kulihat bertahun-tahun lamanya. Meneduhkan dan membuatku nyaman. Meskipun, sorot matanya mulai meredup, kecantikannya memudar, surainya memutih dan giginya banyak yang tanggal, dia tetap jadi pahlawanku. Perempuan hebat itu bernama IBU.
Sudah hampir empat bulan kami hanya bersua di dunia maya.
Pandemi ini membenamkanku dalam kerinduan yang berlipat-lipat. Tak bisa
memeluk, merengkuhnya dan merasakan aroma tubuhnya. Maafkan aku ibu, yang
terkadang sering lupa berkirim kabar.
Lebih sibuk membalas chat whatsApp dari teman dunia maya. Padahal, engkau
selalu menungguku. Merindukan suaraku, cerita-ceritaku dan humor recehku.
Ah, mengapa aku selalu begini. Terlena dengan aktivitas di
jejaring sosial, hingga sejenak melupakanmu. Sadar, kemudian lupa dan begitu
seterusnya. Sementara kasih sayangmu berlimpah dan tak pernah memudar. Kala mengingat masa-masa
kehamilan pertama, rasanya begitu sedih. Aku sering mengeluh pegal di bagian
kaki dan pundak. Tetapi ibu meresponnya dengan cepat, selalu siaga memijitku,
membalurkan minyak di bagian yang sakit, membuat teh hangat dan menemaniku
hingga terlelap.
Saat kelahiranku, Ibu orang yang pertama kali mencemaskanku.
Sibuk begadang untuk menggendong anakku. Ibu masih saja menganggapku anak kecil
yang selalu dijaga dan dilindungi. Hingga akhirnya, aku tak sanggup melihatnya
letih, kuputuskan untuk hidup mandiri meninggalkan rumah masa kecilku.
Susah payahnya tak berakhir begitu saja, lepas kepergianku
ibu menjaga ketiga anak dari kakakku yang semuanya masih kecil. Kata siapa
semakin menua, bisa melepas lelah dengan lepas. Ibuku berbeda, di usia senjanya
tetap mengkhawatirkan anak-anaknya. Tak mau membebani, menanggung semua
kelelahannya seorang diri. Sampai kapan Bu, engkau ulurkan tanganmu?
Ibu lebih dari sekadar pahlawan bagiku, seperti malaikat yang
mengepakkan kedua sayapnya untuk kami berteduh. Yang tak pernah putus asa dan
mengeluh, meskipun ujian hidup datang silih berganti dan yang terberat,
diuji pasangan hidup. Hanya karena
kami berempat terlahir sebagai anak perempuan, ayahku menjauh. Memutuskan pergi
mencari dunianya sendiri, mendamba lahirnya anak laki-laki. Entah dari rahim wanita
mana ia akan mendapatkannya.
Dunia tak berhenti selepas kepergian ayah, ibu tak mau kalah
dengan kehidupan. Sempat oleng sejenak mencari sandaran, kemudian bangkit dan
membuktikan rapuhnya tulang rusuk tak membuatnya lemah, ibu mengambil alih
estafet tulang punggung. Demi melihat
anak-anaknya bisa bersekolah ke jenjang perguruan tinggi.
"Ibu ini orang bodoh, gak bisa baca tulis. Kamu harus
jadi sarjana."
Sarjana menjadi impian tertinggi ibu. Di sela perjuangannya,
aku tak lagi melihat air matanya menderas. Entah disimpan di mana luka itu,
hingga aku tak bisa menemukan. Hanya senyum ceria saja yang selalu tergambar di
wajahnya.
Pagi berganti siang, siang berganti pekat ibu masih bergumul
dengan pekerjaan. Di kondisi terpuruk, ibu tak pernah mengajarkan membenci
ayah. Masih saja membesarkan namanya di telinga kami. Padahal, aku tahu
bagaimana perlakuan ayah kepadanya.
"Mengapa ibu masih saja membelanya?" Aku selalu
geram.
"Biarlah jadi urusan Tuhan. Manusia tak berhak
menghakimi, apalagi membenci." Selalu itu yang dikatakan ibu. Membuatku
sadar, tak ada manusia yang sempurna. Memaafkan jauh lebih baik daripada
mendendam. Meskipun terkadang berat,
realitanya aku masih baperan dan butuh waktu berhari-hari untuk memaafkan orang
yang menabur luka di hati, apalagi jika keterlaluan.
Tapi akhirnya aku belajar tentang ilmu memaafkan. Saat
berteman, mengagumi atau mencintai seseorang, selalu kusiapkan ruang untuk menerima kekurangannya, agar hatiku tak kecewa.
Bukannya, manusia itu tempat salah dan lupa.
Terima kasih ibu yang sudah mengajarkan tentang ilmu
kehidupan, mengingatkanku, akan perjalanan di dunia yang sangat singkat. Bahwa
Tuhan tak akan memberikan ujian diluar kemampuan. Terkadang ujian datang untuk
menguatkan dan salah satu bentuk kasih sayang kepada hambanya agar mendekat
kepada-Nya. Tuhan rindu,
tangisan-tangisan kita di sepertiga malam.
Di momen spesial peringatan hari Ibu, izinkan aku mengucapkan kata cinta dan sayang untuk perempuan yang sudah melahirkanku, mendidikku dan mengajarkan tentang arti ketangguhan, melihat dunia dalam lingkup yang luas.
Maafkan aku ibu, yang dulu sering terlontar kata-kata kasar jika lelah melanda, menganggap perkataanmu hanya angin lalu, belum bisa memberikan yang terbaik yang ku punya. Aku ingin membahagiakanmu dengan kata-kata yang meneduhkan, memberi kabar sesering mungkin. Andai aku bisa memelukmu setiap hari bu, aku akan bahagia. Sayangnya Ibu tak pernah mau tinggal serumah denganku, di rumah itu banyak sejuta kenangan yang tak bisa ditinggalkan.
Himpunan doa-doa tak pernah lupa kurapalkan di setiap sujudku, semoga ibu diberikan kesehatan, panjang umur, bisa terus membersamai anak-anaknya. Doakan Bu, aku sedang berjuang untuk mempersiapkan mahkota buatmu di surga. Menghapal ayat demi ayat untuk bisa kupersembahkan di akhirat kelak. Ingin membuatmu bangga di dunia dan akhirat dengan berbakti kepadamu.
Love you Ibu ...
Comments
Post a Comment
Silahkan berikan saran dan kritik terhadap tulisan ini