SEHANGAT PELUKAN IBU

Sumber: Pinterest

Segaris wajah bertabur senyum, terpampang jelas di layar ponselku. Senyum itu masih sama, seperti yang kulihat bertahun-tahun lamanya. Meneduhkan dan membuatku nyaman. Meskipun, sorot matanya mulai meredup, kecantikannya memudar, surainya memutih dan giginya banyak yang tanggal, dia tetap jadi pahlawanku. Perempuan hebat itu bernama IBU.

Sudah hampir empat bulan kami hanya bersua di dunia maya. Pandemi ini membenamkanku dalam kerinduan yang berlipat-lipat. Tak bisa memeluk, merengkuhnya dan merasakan aroma tubuhnya. Maafkan aku ibu, yang terkadang sering lupa  berkirim kabar. Lebih sibuk membalas chat whatsApp dari teman dunia maya. Padahal, engkau selalu menungguku. Merindukan suaraku, cerita-ceritaku dan humor recehku.

Ah, mengapa aku selalu begini. Terlena dengan aktivitas di jejaring sosial, hingga sejenak melupakanmu. Sadar, kemudian lupa dan begitu seterusnya. Sementara kasih sayangmu berlimpah dan tak pernah memudar. Kala mengingat masa-masa kehamilan pertama, rasanya begitu sedih. Aku sering mengeluh pegal di bagian kaki dan pundak. Tetapi ibu meresponnya dengan cepat, selalu siaga memijitku, membalurkan minyak di bagian yang sakit, membuat teh hangat dan menemaniku hingga terlelap.

Saat kelahiranku, Ibu orang yang pertama kali mencemaskanku. Sibuk begadang untuk menggendong anakku. Ibu masih saja menganggapku anak kecil yang selalu dijaga dan dilindungi. Hingga akhirnya, aku tak sanggup melihatnya letih, kuputuskan untuk hidup mandiri meninggalkan rumah masa kecilku.

Susah payahnya tak berakhir begitu saja, lepas kepergianku ibu menjaga ketiga anak dari kakakku yang semuanya masih kecil. Kata siapa semakin menua, bisa melepas lelah dengan lepas. Ibuku berbeda, di usia senjanya tetap mengkhawatirkan anak-anaknya. Tak mau membebani, menanggung semua kelelahannya seorang diri. Sampai kapan Bu, engkau ulurkan tanganmu?

Ibu lebih dari sekadar pahlawan bagiku, seperti malaikat yang mengepakkan kedua sayapnya untuk kami berteduh. Yang tak pernah putus asa dan mengeluh, meskipun ujian hidup datang silih berganti dan yang terberat, diuji  pasangan hidup. Hanya karena kami berempat terlahir sebagai anak perempuan, ayahku menjauh. Memutuskan pergi mencari dunianya sendiri, mendamba lahirnya anak laki-laki. Entah dari rahim wanita mana ia akan mendapatkannya.

Dunia tak berhenti selepas kepergian ayah, ibu tak mau kalah dengan kehidupan. Sempat oleng sejenak mencari sandaran, kemudian bangkit dan membuktikan rapuhnya tulang rusuk tak membuatnya lemah, ibu mengambil alih estafet tulang punggung.  Demi melihat anak-anaknya bisa bersekolah ke jenjang perguruan tinggi.

"Ibu ini orang bodoh, gak bisa baca tulis. Kamu harus jadi sarjana."

Sarjana menjadi impian tertinggi ibu. Di sela perjuangannya, aku tak lagi melihat air matanya menderas. Entah disimpan di mana luka itu, hingga aku tak bisa menemukan. Hanya senyum ceria saja yang selalu tergambar di wajahnya.

Pagi berganti siang, siang berganti pekat ibu masih bergumul dengan pekerjaan. Di kondisi terpuruk, ibu tak pernah mengajarkan membenci ayah. Masih saja membesarkan namanya di telinga kami. Padahal, aku tahu bagaimana perlakuan ayah kepadanya.

"Mengapa ibu masih saja membelanya?" Aku selalu geram.

"Biarlah jadi urusan Tuhan. Manusia tak berhak menghakimi, apalagi membenci." Selalu itu yang dikatakan ibu. Membuatku sadar, tak ada manusia yang sempurna. Memaafkan jauh lebih baik daripada mendendam. Meskipun terkadang  berat, realitanya aku masih baperan dan butuh waktu berhari-hari untuk memaafkan orang yang menabur luka di hati, apalagi jika keterlaluan.

Tapi akhirnya aku belajar tentang ilmu memaafkan. Saat berteman, mengagumi atau mencintai seseorang, selalu kusiapkan  ruang untuk menerima  kekurangannya, agar hatiku tak kecewa. Bukannya, manusia itu tempat salah dan lupa.

Terima kasih ibu yang sudah mengajarkan tentang ilmu kehidupan, mengingatkanku, akan perjalanan di dunia yang sangat singkat. Bahwa Tuhan tak akan memberikan ujian diluar kemampuan. Terkadang ujian datang untuk menguatkan dan salah satu bentuk kasih sayang kepada hambanya agar mendekat kepada-Nya. Tuhan rindu,  tangisan-tangisan kita di sepertiga malam.

Di momen spesial  peringatan hari Ibu, izinkan aku mengucapkan kata cinta dan sayang untuk perempuan yang sudah melahirkanku, mendidikku dan mengajarkan tentang arti ketangguhan,  melihat dunia dalam  lingkup yang luas. 

Maafkan aku ibu, yang dulu sering terlontar kata-kata kasar jika lelah melanda, menganggap perkataanmu hanya angin lalu, belum bisa memberikan yang terbaik yang ku punya. Aku ingin membahagiakanmu dengan kata-kata yang meneduhkan, memberi kabar sesering mungkin. Andai aku bisa memelukmu setiap hari bu, aku akan bahagia. Sayangnya Ibu tak pernah mau tinggal serumah denganku, di rumah itu banyak sejuta kenangan yang tak bisa ditinggalkan.

Himpunan doa-doa tak pernah lupa kurapalkan di setiap sujudku, semoga ibu diberikan kesehatan, panjang umur, bisa terus membersamai anak-anaknya. Doakan Bu, aku sedang berjuang untuk mempersiapkan mahkota buatmu di surga. Menghapal ayat demi ayat untuk bisa kupersembahkan di akhirat kelak. Ingin membuatmu bangga di dunia dan akhirat dengan berbakti kepadamu.

Love you Ibu ...

Comments

Popular posts from this blog

KONSEP LIVABLE CITY BIKIN AWET MUDA DAN ANTI AGING PALING AMPUH

BELAJAR DARI KAMPUNG LALI GADGET, “PERMAINAN TRADISIONAL KEMBALI JADI IDOLA ANAK”

TYROL